Provinsi
SUMATERA SELATAN
Profil
Nama Resmi
|
:
|
Provinsi Sumatera Selatan
|
Ibukota
|
:
|
Palembang
|
Luas Wilayah
|
:
|
91.592,43 Km2 *)
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
8.321.592 Jiwa *)
|
Suku Bangsa
|
:
|
Palembang, Komering, Pasemah, Ranau, Semendo dll.
|
Agama
|
:
|
Islam: 96 %, Kristen: 1,7 %, Budha: 1,8 %, ain-lain: 0,5 %
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kab.: 11, Kotamadya: 4, Kec.:223, Kel.:371, Desa : 2.755 *)
|
Lagu Daerah
|
:
|
Dek Sangke
|
Website:
|
:
|
*) Sumber : Permendagri Nomor 66 Tahun 2011
|
Sejarah Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan sejarah Riau dan sejarah kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Hal ini sangat logis bila dihubungkan dengan perkembangan bangsa Deutro-Melayu di daerah ini. Keturunan Deutro-Melayu ini telah menghuni kawasan tersebut sejak tahun 300 SM. Mereka menggeser kedudukan bangsa Proto Melayu yang datang ke sana sekitar 2.000 tahun sebelumnya.
Karena letaknya yang strategis bagi dunia pelayaran, ditambah dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, Sumatera Selatan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing, terutama dari Arab, India dan Cina, sejak awal tarikh Masehi. Maka tidak mengherankan jika masyarakat Sumsel cepat berkembang dan kemudian melahirkan sebuah kerajaan besar yang bernama Sriwijaya.
Para ahli sejarah sependapat bahwa Kerajaan Sriwijaya tumbuh, berkembang dan mengalami masa kejayaannya selama berabad-abad antara abad ketujuh sampai abad ke-12. Sriwijaya menghasilkan sendiri komoditi penting pada masa itu, seperti lada dan timah. Daerah yang banyak menghasilkan lada adalah daerah sepanjang Sungai Kampar, Kuantan, Singingi (Riau) dan Batanghari (Jambi). Timah didatangkan dari daerah Kedah (Malaysia) dan Tapung Petapahan di hulu Sungai Siak (Riau). Selain itu Sriwijaya juga menjual emas yang berasal dari Sungai Kuantan dan Singingi.
Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal itu logis karena memang cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya. Tetapi tidak demikian dengan persoalan lokasi pusat kerajaan tersebut. Para ahli sejarah masih terus memperdebatkan masalah ini.
Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa pusat kerajaan tersebut adalah Palembang, di mana ditemukan banyak prasasti peninggalan Sriwijaya. Yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muangthai), di Jawa, di Perak, di Jambi, dan di Muaratakus (Riau). Hal ini berdasarkan pada rekonstruksi peta-peta yang menunjukkan nama-nama tempat yang disebut dalam berbagai sumber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu, di samping aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya. Walaupun begitu, mungkin saja setiap versi masing-masing memiliki kebenaran. Sebab sebagai negara maritim yang kaya dan dinamis seperti Sriwijaya, berpindah-pindah ibukota dalam rentang waktu lebih dari lima abad bukanlah suatu hal yang mustahil.
Perkembangan pesat yang dialami Sriwijaya diperkirakan terjadi antara abad ke-ll sambai abad ke-12. Ketika itu Sriwijaya, yang memiliki 13 negara jajahan, meliputi seluruh wilayah Indonesia bagian barat dan seluruh Semenanjung Melayu sampai ke sebelah selatan Teluk Bandon.
Tulisan-tulisan yang berisi ajaran Budha yang ditemukan di Pasir Panjang, ujung utara Pulau Karimun (Kepulauan Riau), memberikan petunjuk bahwa daerah tersebut merupakan pos terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran di mulut Selat Melaka. Di atas prasasti itu ditemukan tiga telapak kaki kiri berukuran raksasa. Telapak kaki kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan di suatu tempat di Singapura.
Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Budha yang menguasai dunia sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir Panjang dan kaki kanan di Pulau Singapura. Maka kapal-kapal yang melalui Selat Melaka akan berada di bawah kangkangannya. Hal ini merupakan gimbal besarnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang pada waktu itu berpusat di Muaratakus.
Dalam puncak kejayaannya Sriwijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Budha di Asia Tenggara. Keadaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kerajaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Kerajaan Singosari sejak tahun 1275. Sejak itu masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar.
Setelah Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, para anggota keturunan dinasti Sailendra berusaha untuk menghidupkan kembali kebesaran tahta leluhur mereka dengan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah seorang di antaranya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang untuk mencari bantuan dari beberapa kerajaan kecil bekas mandala Sriwijaya.
Menurut Sejarah Melayu, rombongan Sang Sapurba berangkat dari Palembang sekitar akhir abad ke-13 menghilir Sungai Musi dan mendarat di Kerajaan Tanjungpura. Di sana salah seorang putranya dikawinkan dengan putri penguasa setempat dan kemudian dinobatkan sebagai raja. Setelah itu Sang Sapurba pergi ke Bintan, dan di sana ia juga mengawinkan lagi seorang putranya dengan putri raja Bintan. Tujuannya mengawinkan putra-putranya dengan putri raja-raja setempat adalah untuk menghidupkan kembali imperium leluhurnya.
Arti Logo
Atap rumah Sumatera Selatan berujung 17, dengan delapan baris dan empat puluh lima buah genteng, bunga teratai, batang hari sembilan, adalah lambang hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Bunga Teratai, adalah lambang keadilan berdasarkan Pancasila.
Batang Hari Sembilan, nama lain Sumatera Selatan adalah lambang kemakmuran.
Jembatan Ampera, adalah lambang kemajuan dan ciri khas kota Palembang.
Gunung, adalah lambang keperkasaan.
Nilai Budaya
Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang secara potensial memiliki kekayaan budaya sejak zaman Sriwijaya, ketika daerah ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan. Sesuai arah perkembangannya, sehingga menjadi salah satu pusat kebudayaan serta daerah tujuan wisata di Indonesia. Upaya pelestarian dan pengembangannya melalui pendidikan yang mengandung budaya daerah bernilai tinggi.
Sikap budaya masyarakat dapat dilihat dari berbagai hasil budaya masyarakat atau kegiatan mereka dalam berbagai dimensi kehidupan, antara lain penyelenggaraan upacara adat, misalnya upacara perkawinan, dengan bahasa dan logat khas Sumatera Selatan seperti yang selama ini dilakukan, merupakan kegiatan yang perlu terus dipertahankan dalam upaya melestarikan bahasa daerah.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, pembauran antar etnis telah menjadi salah satu bagian kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.
Falsafah Hidup Masyarakat Setempat
- Bersatu Teguh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar